Sabtu, 26 Desember 2009

Bingung antara Hamil dan Karier

Rabu, 23 Desember 2009 | 10:44 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Ia pernah keguguran dan kini ingin kembali hamil. Untuk itu dokter menyarankan agar ia istirahat panjang, jika perlu keluar dari pekerjaan. “Berat nian saya meninggalkan karir yang sudah lama saya rintis,” katanya. Bagaimana solusinya?

“Saya seorang wanita karier, usia 33 tahun, bekerja di sebuah perusahaan swasta nasional yang mapan. Sudah tiga tahun saya menikah, tapi hingga kini belum dikaruniai buah hati.

Terus terang Bu Dewi, saya pernah keguguran pada tahun pertama perkawinan kami. Saya sangat merasa kehilangan, tapi apa mau dikata, kondisi tubuh memang tidak kuat. Apalagi saya memang tidak dapat mengurangi aktivitas di kantor, sebagaimana dianjurkan oleh dokter kandungan pada waktu itu.

Sekarang saya ingin bisa hamil lagi. Dokter menyarankan supaya saya mengambil cuti panjang (paling tidak enam bulan), jika perlu keluar saja dari pekerjaan. Maksudnya adalah supaya saya bisa berkonsentrasi pada proses persiapan kehamilan, kehamilannya sendiri, hingga nanti melahirkan.

Sebagai wanita yang sangat aktif, menikmati kehidupan kantor, dan memiliki ambisi untuk mencapai posisi tertentu di perusahaan, saran itu tidak mudah saya lakukan. Berat nian saya meninggalkan karir yang sudah lama saya rintis. Rasanya saya harus mengambil keputusan yang jauh lebih berat ketimbang untuk menikah.

Suami sangat baik karena dalam hal ini dia menyerahkan keputusan pada saya. Dia ingin punya anak, namun tidak memaksa jika saya tidak sanggup untuk istirahat panjang.

Saya mohon saran Ibu Dewi, bagaimana harus memilih dua hal yang rasanya sama-sama penting buat saya ini. Anak penting, tapi karir juga penting. Saya bingung.”

Septi, Jakarta

Kesungguhan
Kebingungan Anda sampai saat ini sebenarnya lebih didasari oleh belum adanya kesungguhan untuk menelaah secara lebih mendalam dan serius dalam usaha membuat keputusan. Dan yang bisa mengambil keputusan dalam hal ini adalah Anda sendiri.

Keberhasilan untuk memutuskan memang bisa dibantu oleh orang lain, termasuk suami, tapi sifat bantuannya adalah memberi atau menambah informasi. Dengan informasi-informasi itu, Anda bisa membuat sejumlah alternatif yang pada akhirnya Anda sendiri yang harus memilih mana yang paling cocok.

Dua Kelompok Pertanyaan
Dalam hal ini saya mencoba membantu dengan mengajukan beberapa pertanyaan dengan pemikiran yang ada di belakang pertanyaan.

Pertama: Apa yang sesungguhnya menjadi keinginan utama Anda dalam hidup saat ini? Apakah Anda sangat membutuhkan pengalaman menjadi wanita yang berhasil dalam meniti karier? Apakah jika tidak berhasil di dunia karier, Anda akan merasa gagal total sebagai pribadi? Apakah makna hidup Anda akan merosot atau sirna dengan tiadanya karier untuk sementara ini?

Kedua: Apa yang menjadi angan-angan terdalam bagi kehidupan Anda berumah tangga? Apakah Anda ingin mencapai atau mendambakan kebahagiaan keluarga yang harus dilengkapi oleh adanya anak? Apakah kehadiran anak dalam perkawinan memiliki arti yang sangat penting bagi Anda sebagai seorang perempuan? Apakah adanya anak Anda perkirakan sebagai sumber kebahagiaan berdua bersama suami?

Apakah tidak adanya anak dalam perkawinan bisa mendatangkan hal-hal yang lebih negatif bagi kehidupan ke depan?

Ini baru sebagian kecil dari pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan perenungan dan jawaban yang sungguh-sungguh dari Anda pribadi.

Ambil Konsekuensinya
Kalau jawaban Anda terhadap pertanyaan-pertanyaan seputar karir berpangkal pada kebutuhan yang sangat mendalam mengenai pengakuan bahwa berkarir adalah segala-galanya untuk Anda dan suami, konsekuensinya sangat perlu dipikirkan.
Setiap pilihan selalu disertai adanya konsekuensi tertentu. Di sinilah pentingnya bagi Anda untuk menimbang atau menghitung mana konsekuensi yang harus diambil dan dihadapi dari setiap pilihan.

Salah satu konsekuensi dan pilihan untuk tetap memilih dan meniti masa depan di dunia karir adalah bahwa Anda sangat mungkin tidak berhasil menjadi ibu dalam waktu dekat. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisik yang belum atau tidak memungkinkan.

Masih banyak konsekuensi lainnya yang bisa dijabarkan lagi dari pilihan Anda untuk melanjutkan berkarir. Antara lain pada suatu saat tiba-tiba suami sangat menginginkan anak. Tiba-tiba suatu hari Anda sadar ingin memiliki anak, padahal usia sudah tidak memungkinkan. Bagaimana pula Anda harus mengisi kehidupan pada saat tiba-tiba merasa kesepian karena tiadanya anak di rumah?

Jika Anda mempunyai jawaban pada pertanyaan kelompok dua, yaitu ingin dan merasa berarti atau bermakna dengan menjadi ibu, bisa merasakan melahirkan, merawat, mendidik, dan membesarkan anak, itu pun memiliki sejumlah konsekuensi.

Konsekuensi yang jelas sudah ada di depan mata adalah mengurangi kegiatan, dalam hal ini mungkin berhenti dari pekerjaan untuk sementara waktu. Masih ada konsekuensi lainnya, misalnya Anda harus menghadapi kenyataan bahwa untuk sementara kehilangan lingkungan sosial yang dimiliki saat ini.

Konsekuensi lainnya Anda mungkin harus rela menerima uang dari suami dan mungkin harus membatasi kebebasan untuk membeli keperluan pribadi agar tidak mengganggu pengeluaran rumah tangga.

Konsep AKU
Ada suatu konsep yang mengajarkan kita untuk lebih terarah dalam mencapai tingkat atau bentuk kehidupan yang diinginkan. Konsep ini pertama-tama menekankan pengenalan secara tepat mengenai apa yang paling kita inginkan dalam kehidupan.

Keinginan ini bukan sekadar mau senang, bahagia, santai, kaya, yang pada dasarnya terlalu abstrak untuk dimengerti. Yang dimaksud dengan apa yang paling diinginkan adalah sesuatu yang lebih konkret, spesifik, terukur oleh waktu, biaya, maupun tingkatan, misalnya apa, kapan, berapa, di mana.

Selama jawaban tentang ingin menjadi apa, kapan, di mana dan sebagainya itu tidak atau belum spesifik dan konkrit, Anda sebenarnya belum memiliki keinginan yang jelas dan terarah. Ini yang sering membuat Anda masih tetap bingung.

Dan andaikan Anda berusaha mencoba mencapainya, usaha yang dilakukan seringkali kurang efektif. Karena itu, ambisi (A) harus jelas. Seandainya sudah mempunyai atau bisa menetapkan apa yang paling diinginkan, itu pun belum berarti bahwa Anda sudah pasti akan berhasil mencapainya.

Unsur kedua yang penting sekali untuk ditelaah adalah segala hal yang merupakan kondisi (K) atau kenyataan yang bisa mendukung atau menghambat pencapaian kegiatan tadi. Yang dimaksud kondisi atau kenyataan adalah kesehatan yang dimiliki, kondisi keuangan, dukungan moral dan materiil dari orang yang diharapkan, kondisi alam, suasana kehidupan keluarga, dan sejenisnya.

Kita sering lupa bahwa faktor-faktor pendukung merupakan hal penting dalam pencapaian sasaran. Apalagi dalam kehidupan berumah tangga dan sosial, orang lain perlu menjadi bahan pertimbangan. Karena kita bisa terkejut menemukan suatu kenyataan bahwa salah satu anggota keluarga bisa tiba-tiba muncul sebagai penghambat.

Tidak ada keinginan yang begitu saja bisa terpenuhi tanpa sebuah upaya untuk mencapainya, sekalipun sejumlah kondisi sudah dipertimbangkan dengan baik. Terlaksana atau tidaknya apa yang menjadi keinginan kita masih sangat ditentukan oleh kuat dan lemah atau besar dan kecilnya usaha (U) kita menuju sasaran itu.

Bingung, menunggu bagaimana nanti, tergantung keadaan, hanya merupakan alasan-alasan untuk tidak melakukan upaya secara nyata. Mungkin karena belum jelasnya keinginan Anda, mungkin juga belum cukup informasi apa yang bisa mendukung dan tidak.

Saya kira uraian tentang ketiga unsur dalam konsep AKU tersebut dapat membantu Anda untuk mulai merenungkan, lalu mengambil keputusan dan melakukan sesuatu. @

Dewi Matindas
Psikolog

diambil dari kompas.com/rubrik psikologi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar